Definisi Lingkungan Hidup
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.
Dalam lingkungan hidup terdapat
ekosistem, yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh
menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas,
dan produktivitas lingkungan hidup.
Merujuk pada definisi di atas, maka
lingkungan hidup Indonesia tidak lain merupakan Wawasan Nusantara, yang
menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan
peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat bangsa Indonesia
menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya.
Secara hukum maka wawasan dalam
menyelenggarakan penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah Wawasan Nusantara.
Persetujuan
Internasional Tentang Lingkungan Hidup
Indonesia termasuk dalam perjanjian:
Biodiversitas, Perubahan Iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah
Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon,
Polusi Kapal, Perkayuan Tropis 83, Perkayuan Tropis 94, Dataran basah,
Perubahan Iklim - Protokol Kyoto (UU 17/2004), Perlindungan Kehidupan Laut
(1958) dengan UU 19/1961.
Masalah
lingkungan hidup di Indonesia
Bahaya alam: banjir, kemarau
panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung lumpur,
tanah longsor,limbah industri, limbah pariwisata, limbah rumah sakit.
Masalah Lingkungan hidup di
Indonesia saat ini: penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air
dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan
(Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ke 3 di dunia); asap dan
kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan;
perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan dan
pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan
sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa
pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur; hujan asam
yang merupakan akibat dari polusi udara.
Perbandingan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain :
1.
Keutuhanunsur-unsur
pengelolaan lingkungan hidup
2.
Kejelasankewenangan
antara pusat dan daerah
3.
Penguatan
pada upaya pengendalian lingkungan hidup
4.
Penguatan
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi
instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan
hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen
ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan
hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup,
dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
5.
Pendayagunaan
perizinan sebagai instrumen pengendalian;
6.
Pendayagunaan
pendekatan ekosistem;
7.
Kepastian
dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
8.
Penguatan
demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
9.
Penegakan
hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
10.
Penguatan
kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif
dan responsif; dan
11.
Penguatan kewenangan pejabat pengawas
lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
Undang-Undang
ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh
kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini
juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah
dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah
masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban
kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang
menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan
suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi
kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga
ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber
daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas
pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran
pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah. UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai
pengganti UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yang
dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-undang
tersebut meliputi:1. Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
2. Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alama yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
3. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS, tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer. Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi : Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan, Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.Ada pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan di bidang perlindungan dan pengelolaanlingkungan hidup, baik kepada perseorangan, korporasi, maupun pejabat. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap baku mutu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).Dalam UU No 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya “dampak besar”.Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup……”, pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan…..”. Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak termuat dalam UU No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun 1999 dan memberikan implikasi yang besar bagi para pelaku AMDAL, termasuk pejabat pemberi ijin.
Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain:
1.
AMDAL
dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup
2.
Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki
sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL;
3.
Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun
kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL
4.
Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk
penerbitan izin lingkungan;
5.
Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,
gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya.
Selain ke –
5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan dalam UU No.
32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait pelanggaran
bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut, yaitu:
1.
Sanksi
terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izinlingkungan;
2.
Sanksi
terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi;
3.
Sanksi
terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan
dokumen AMDAl atau UKL-UPL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar